Peran Iptek dalam Kehidupan Manusia

0
“Akan tetapi, dunia tempat kita hidup sekarang ini tidak begitu tampak atau terasa seperti yang diperkirakan. Bukannya semakin dapat dikendalikan, dunia kita tampaknya justru di luar kendali kita—sebuah dunia yang lepas kendali [Runaway World].
(Anthony Giddens, dalam Runaway World)
“Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjegal. Dalam perdamaian, dia membikin hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Mengapa ilmu yang amat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali kepada kita?”
(Pesan Albert Einstein kepada mahasiswa California Institute of Technology)
 
A. Pendahuluan
Salah satu konflik dunia yang paling menghebohkan untuk saat ini adalah konflik yang terjadi antara India dan Pakistan dalam memperebutkan wilayah Kashmir. Disebut paling menghebohkan, karena konflik—yang pada tahun 1948, 1965, dan 1975 menyebabkan perang terbuka di antara kedua negara—ini melibatkan upaya-upaya kedua negara dalam mengembangkan salah satu teknologi terhebat dunia saat ini, yaitu nuklir. Perlombaan persenjataan nuklir India-Pakistan ini menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang kemungkinan perang nuklir, yang tidak saja dapat menghancurkan kedua negara, tetapi juga mencelakakan Asia Selatan maupun dunia.[3]
Kejadian di atas adalah salah satu dampak buruk dari pengembangan ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi. Mencermati kejadian di atas, penulis menjadi ragu, apakah ilmu pengetahuan dan teknologi—sebagai hasil pengembangannya—akan menghancurkan kehidupan kita di muka bumi ini? Padahal, ilmu pengetahuan lahir dan hadir di tengah-tengah manusia untuk melakukan enlightening, pencerahan. Tetapi mengapa ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian malah menimbulkan tanda-tanda kehancuran bagi umat manusia?
Dalam tulisan ini, penulis akan mengulas bagaimana sesungguhnya—idealnya—peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia? Serta mengapa ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk saat ini, malah menimbulkan berbagai kegoncangan di muka bumi, di samping, tentunya, ada juga sisi positifnya?
Sebelum membahas permasalahan di atas lebih lanjut, perlu kiranya dikemukakan lebih dahulu pernyataan Nurcholish Madjid, sebagai bahan renungan. Cak Nur menyatakan, bahwa teknologi modern—sebagai anak kandung ilmu pengetahuan—dan pilihan-pilihannya mengandung masalah yang tidak boleh dipandang enteng.[4]
B. Tujuan Awal Ilmu Pengetahuan
Perkembangan sejarah manusia selalu diwarnai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melingkupinya. Hal ini tentunya berbanding lurus dengan upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dan teknologi adalah sarana yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Secara definitif, ilmu adalah pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Maka, patutlah dikatakan, bahwa peradaban manusia sangat bergantung kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini,  pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah.[5] Secara lebih spesifik, Eugene Staley menegaskan bahwa teknologi adalah sebuah metode sistematis untuk mencapai setiap tujuan insani.[6]
Pada tahap selanjutnya, seiring dengan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan turunannya yang berbentuk teknologi ini, meluas bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia secara sempit. Pemanfaatan teknologi meluas pada upaya penghapusan kemiskinan, penghapusan jam kerja yang berlebihan, penciptaan kesempatan untuk hidup lebih lama dengan perbaikan kualitas kesehatan manusia, membantu upaya-upaya pengurangan kejahatan, peningkatan kualitas pendidikan, dan sebagainya.[7]
Bahkan secara lebih komprehensif, ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan pemerintah dalam menunjang pembangunannya. Misalnya dalam perencanaan dan programing pembangunan, organisasi pemerintah dan administrasi negara untuk pembangunan sumber-sumber insani, dan teknik pembangunan dalam sektor pertanian, industri, dan kesehatan.[8]
Puncaknya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan saja membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lebih jauh, ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mendatangkan kemudahan hidup bagi manusia. Bendungan, kalkulator, mesin cuci, kompor gas, kulkas, OHP, slide, TV, tape recorder, telephon, komputer, satelit, pesawat terbang, merupakan produk-produk teknologi yang, bukan saja membantu manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi membuat hidup manusia semakin mudah.[9]
Manfaat-manfaat inilah yang mula-mula menjadi tujuan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan hingga menghasilkan teknologi. Mulai dari teknologi manusia purba yang paling sederhana berupa kapak dan alat-alat sederhana lainnya. Sampai teknologi modern saat ini, yang perkembangannya jauh lebih pesat dari perkembangan teknologi sebelumnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini sanggup membawa berkah bagi umat manusia berupa kemudahan-kemudahan hidup, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benak manusia.
C. Teknologi: Kemudahan yang Menghancurkan
Perlahan tapi pasti, tujuan mulia ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membantu manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, mengalami pergeseran. Teknologi yang sejatinya hanyalah sarana dan alat bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, berubah menjadi sesuatu yang diberhalakan. Padahal, seharusnya ilmu dan teknologi hanya sebagai alat dalam kehidupan, bukan sebagai gantungan atau andalan dalam kehidupan.[10] Amien Rais menggambarkan, bahwa ada kecenderungan manusia modern untuk mengagung-agungkan atau menyembah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam pandangan manusia modern, iptek adalah means everything, segala-galanya. Solah-olah, di tangan iptek-lah kesejahteraan manusia masa depan akan digantungkan.[11]
Akibatnya, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bumerang bagi manusia sebagai penggunanya, senjata makan tuan. Akibat penggunaan iptek yang salah kaprah dan tidak terkendali, teknologi hanyalah menciptakan alienasi, dehumanisasi, dan konsumerisme dalam kehidupan manusia.[12] Tentang proses dehumanisasi akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, Jujun S. Suriasumantri, mengatakan bahwa iptek bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya. Tetapi, iptek malah menciptakan tujuan hidup itu sendiri.[13]
Sementara itu, proses alienasi tercipta karena teknologi modern dengan sendirinya menghasilkan tatanan sosial, dengan pranata dan pelembagaannya, yang juga teknikalistik. Dalam keadaan seperti itu, manusia terasing dari dirinya sendiri dan dari nilai kepribadiannya, karena ia menjadi tawanan sistem yang melingkari kehidupannya.[14]
Dalam gambaran Francis Fukuyama, dunia sekarang, yang memasuki era masyarakat post-industri, serta diiringi perkembangan ilmu dan teknologi yang tidak terkendali, tengah mengalami great disruption (goncangan luar biasa).[15] Akibat dari goncangan ini adalah terjadinya ancaman serius bagi eksisnya nilai-nilai yang dianut masyarakat, dibarengi statistik kriminalitas yang makin meningkat, anak-anak yang kehilangan orang tua, terbatasnya akses dan kesempatan memperoleh pandidikan, saling tidak percaya, dan berbagai krisis kemanusiaan lainnya.
Untuk menggambarkan dampak negatif perkembangan iptek bagi kehidupan dunia sekarang, Anthony Giddens, seorang sosiolog terkenal, sengaja menulis sebuah buku yang cukup apresiatif, berjudul Runaway World. Giddens menjelaskan, bahwa proses globalisasi merupakan anak dari kemajuan ilmu dan teknologi. Tetapi, bukannya menciptakan kebahagiaan bagi manusia, globalisasi malah mencipatakan penyakit dan siap mengantarkan manusia menuju lembah kehancurannya. Globalisasi menciptakan berbagai resiko hidup dan ketidakpastian hidup yang melampaui kemampuan manusia untuk mengantisipasinya. Globalisasi juga menciptakan perubahan super dahsyat yang merombak dan memporak-porandakan tradisi, dimana nilai-nilai penyangga kehidupan manusia terbentuk. Tidak berhenti di situ saja, proses penghancuran ini pun merambah keluarga, komunitas terkecil tempat manusia hidup. Akibatnya, manusia semakin kehilangan tempat berpijak bagi kehidupannya.[16]
Semua gambaran di atas hanyalah salah satu dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam aspek yang abstrak. Dampak dalam aspek yang lebih kongkrit akan lebih mengejutkan lagi. Francis Fukuyama menggambarkan, bahwa dampak paling krusial dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihadapi manusia saat ini, adalah menyangkut posisi revolusi bio-teknologi.[17] Selain menghasilkan penemuan yang positif bagi kehidupan manusia, revolusi bio-teknologi juga menghasilkan bahaya besar melalui teror bom.
Selanjutnya, Nurcholish Madjid menyebutkan, bahwa peningkatan hidup material manusia modern akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan berarti peningkatan kualitas kemanusiaan secara moral dan spiritual. Biarpun manusia sekarang itu lebih modern, namun mereka tetap ‘primitif’ dalam nilai-nilai kemanusiaan dan ‘buas’ dalam tingkah lakunya. Hal ini bisa dilihat dari munculnya Naziisme Jerman yang cukup mrngerikan dan jatuhnya bom atom oleh Amerika di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, serta Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang sempat menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan.[18] Kejadian ini tidak lepas dari pengaruh kemajuan di bidang iptek.
Lebih lanjut, pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan mengancam kelestarian bumi sebagai tempat pijak manusia. Perlombaan senjata nuklir yang belakangan ini semakin marak makin menambah daftar negatif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan senjata nuklir yang semula untuk tujuan mulia kemanusiaan, malah menciptakan ancaman maha besar bagi kelanjutan peradaban manusia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi ibarat pisau belati. Jika dipakai orang baik, akan menciptakan kemakmuran bagi manusia. Sebaliknya jika dipakai orang jahat, akan menciptakan bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat. Jenis kedua inilah yang sekarang tengah terjadi pada dunia. Akhirnya, ilmu pengetahuan yang seharusnya membebaskan manusia dari pekerjaan yang melelahkan spiritual, malah menjadikan manusia sebagai budak-budak mesin.[19]
D. Mendudukkan Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Manusia
Capra menyatakan, bahwa budaya dunia (dalam hal ini adalah Barat, dengan segala aspek kemajuan yang mereka peroleh) telah terpuruk di lembah kehancuran, penuh kontradiksi, dan kacau. Penyebabnya adalah tidak tepatnya paradigma yang digunakan dalam penyusunan kebudayaan barat.[20]
Jika analisa Capra di atas dikorelasikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala dampaknya, seperti dijelaskan di atas, kayaknya analisa tersebut sangat relevan.
Menurut Holmes Rolston III, kerangka kerja ilmiah yang digunakan para ilmuwan modern telah mengalami proses sekularisasi. Menurut Rolston, dahulu, penjelasan ilmiah harus meliputi empat sebab Aristotelian, yaitu efisien, material, formal, dan final. Kemudian, oleh para ilmuwan modern, sebab formal dan final yang berkaitan dengan makna dilepas, karena kajian ilmiah menurut mereka hanya berkaitan dengan fakta, tidak dengan makna. Proses sekularisasi ilmu juga didorong oleh pandangan ideologis bangsa Eropa yang cenderung rasional dan sekular serta tidak mempercayai hal-hal yang bersifat metafisis atau spiritual.[21]
Dari gambaran di atas, jelaslah bahwa para ilmuwan barat telah terjebak pada alam pemikiran materialistik (menurut Auguste Comte alam positivistik), dan menolak pembicaraan tentang hal-hal yang bersifat metafisis dan spiritual. Karena paradigma yang mereka gunakan hanya berdasar pada paradigma materialistik, maka dalam pengembangan ilmu pengetahuan pun, yang selanjutnya menghasilkan teknologi, mereka sama sekali tidak mendasarkan pada nilai-nilai yang telah digariskan Tuhan.
Lebih lanjut, jika melihat kategorisasi dari Mahmud Muhammad Thaha tentang peradaban (madaaniyyah) dan kebudayaan (hadlaarah), akan terlihat lebih jelas kesesatan manusia modern dengan perkembangan iptek-nya. Menurut Thaha, peradaban adalah tujuan utama hidup manusia berupa kebahagiaan dan ketentraman hidup. Sementara kebudayaan hanyalah sarana atau alat untuk mencapai peradaban yang penuh dengan kebahagiaan dan ketentraman hidup.[22]
Peradaban barat yang didasarkan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terlalu silau dengan sarana dan alat yang mereka ciptakan sendiri, yaitu kemajuan iptek. Sementara tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu menciptakan masyarakat berperadaban (masyarakat madani) tidak pernah disentuh.
Dari penjelasan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mendudukkan kembali peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia. Agar peran ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi menjadi tujuan hidup manusia dan mengekploitasi kehidupan manusia, tetapi hanya sebagai sarana manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya.
Pertama, kita harus menetapkan strategi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjung oleh nenek moyang kita selama ini.[23] Sebagai bahan acuan, buku Erich Schumacher yang berjudul Small is Beautiful merupakan salah satu usaha mencari alternatif penerapan teknologi yang lebih bersifat manusiawi.[24]
Kedua, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu diikutsertakan peran agama yang menyokong nilai-nilai moralitas. Karena pengembangan iptek tanpa didasari nilai-nilai moralitas hanya akan menciptakan bumerang yang akan mencekik penciptanya dan menimbulkan malapetaka kemanusiaan.[25]
Ketiga, konsep ‘Tauhid’ perlu diikutsertakan dalam mengawal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam arti apapun yang dilakukan kita dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, harus selalu ditundukkan kepada Dzat Yang Menguasai alam semesta, yaitu Allah. Sehingga, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tujuan kita bukan mengeksploitasi kekayaan bumi atau memuaskan nafsu, tetapi dalam rangka beribadah kepada-Nya (li ya’buduun).[26]
Keempat, kembali kepada kategorisasi Mahmud Muhammad Thaha di atas, mulai saat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi jangan lagi dijadikan sebagai tujuan hidup kita. Karena semua itu hanyalah kebudayaan atau sarana kita untuk mencapai tujuan hidup yang sejati, yaitu peradaban yang diliputi kebahagiaan dan ketentraman hidup.
E. Penutup
Berpuluh tahun yang lalu, seorang ilmuwan fenomenal, Albert Einstein, pernah melontarkan sebuah pesan, yang lahir dari kekhawatiran beliau akan nasib ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan manusia. Sebuah kekhawatiran, jika iptek yang seharusnya membuat hidup manusia bahagia, justeru menciptakan kehancuran bagi peradaban manusia.
“Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh.”
DAFTAR PUSTAKA


Astuti, Siti Irene, Ilmu Sosial Dasar, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2001.
Gidens, Antony, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S., Jakarta: Gramedia, 2001.
Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2002.
Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 2000.
______,  Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1991.
Mas’ud, Ibnu dan Joko Paryono, Ilmu Alamiah Dasar, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Minhaji, Akh, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas, Perspektif Sejarah Sosial, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2004.
Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 2000.
Rais, M. Amien, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan, 1998.
Schumacher, Erich, Kecil itu Indah: Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil, terj. S. Supomo, Jakarta: LP3ES, 1979.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
__________, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
Tajuk Rencana, “Skandal Penyelundupan Pengayak Nuklir oleh Ilmuwan Pakistan”, dalam Kompas Edisi Sabtu, 12 Maret 2005.
Thaha, Mahmud Muhammad, Arus Balik Syari’ah, terj. Khairon Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, 2003.

[1]Antony Gidens, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. xiv.[2]Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Suriasumantri (Ed.), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 35.
[3]Tajuk Rencana, “Skandal Penyelundupan Pengayak Nuklir oleh Ilmuwan Pakistan”, Kompas Edisi Sabtu, 12 Maret 2005.
[4]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 528.
[5]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hlm. 229 dan 254.
[6]Siti Irene Astuti, Ilmu Sosial Dasar (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2001), hlm. 142.
[7]A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 136-137.
[8]Siti Irene Astuti, Ilmu, hlm. 142.
[9]Ibnu Mas’ud dan Joko Paryono, Ilmu Alamiah Dasar (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 162-163.
[10]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 249.
[11]M. Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 153.
[12]Nurcholish Madjid, Islam, hlm. 530.
[13]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 231.
[14]Nurcholish Madjid, Islam, hlm. 534-535.
[15]Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and The Reconstruction of Social Order (New York: The Free Press, 1999), hlm. 3-5, seperti dikutip Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas, Perspektif Sejarah Sosial (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 18.
[16]Anthony Giddens, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. (Jakarta: Gramedia, 2001).
[17]Francis Fukuyama, Our Posthuman Future: Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus, and Giroux, 2002), hlm. 204-205, seperti dikutip Akh. Minhaji, Hukum Islam, hlm. 18.
[18]Nurcholish Madjid, Islam, hlm. 532-533.
[19]Albert Einstein, “Hakekat Nilai dari Ilmu: Pesan kepada Mahasiswa California Institute of Technology”, dalam Jujun S. Suriasumantri  (Ed.), Ilmu dalam, hlm. 248.
[20]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, hlm. 263.
[21]Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 86-87.
[22]Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah, terj. Khairon Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 31-37.
[23]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 234-235.
[24]Erich Schumacher, Kecil itu Indah: Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil, terj. S. Supomo (Jakarta: LP3ES, 1979).
[25]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 252. Lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 296.
[26]Tentang konsep “Tauhid”, lihat Nurcholish Madjid, Islam, hlm. 536-537 dan Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 276.
Author Image

About Ahmad Habibullah
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design